KILASNEWS.COM – Kuasa hukum pihak terkait perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 Risky Dewi Ambarwati mengatakan politik uang atau money politic berpotensi lebih besar terjadi di sistem Pemilihan Umum (Pemilu) proporsional tertutup jika dibandingkan proporsional terbuka.
“Politik uang berpotensi lebih besar terjadi pada partai politik yang menentukan kursi legislatif,” kata Risky Dewi Ambarwati dalam sidang lanjutan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Kamis 24 Februari 2023.
Hal tersebut disampaikan Risky Dewi terkait dalil pemohon perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 yang pada intinya mengatakan sistem pemilu proporsional terbuka menyebabkan pemborosan anggaran negara sekaligus potensi terjadinya politik uang.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum pihak terkait berpandangan dalil yang diutarakan para pemohon bersifat tendensius serta tidak objektif.
Baca Juga:
IBL TV Ungkap Kisah Perjuangan Atlet dengan Mini Series “KITA”
Grease The Musical di Jakarta: Drama, Romansa, dan Musik Legendaris dalam Satu Pertunjukan
Selain itu, masyarakat atau konstituen juga tidak bisa menilai kualitas dari calon legislatif yang akan dipilihnya karena ditentukan oleh partai pengusung.
Pada dasarnya kata Risky, baik di sistem pemilu proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, potensi politik uang tetap ada.
Hanya saja di sistem proporsional tertutup kemungkinan hal itu lebih besar.
Dalam sidang itu ia menjelaskan Indonesia telah lama menerapkan sistem proporsional terbuka sehingga masyarakat dinilai telah memahami mekanisme tersebut saat pesta demokrasi berlangsung.
Baca Juga:
Wamentan Sudaryono Pastikan Daging Sapi dan Kerbau Aman dan Terkendali, Jelang Bulan Suci Ramadhan
Begini Strategi Pemerintah Absorpsi Gabah Kering Panen untuk Tingkatkan Kesejahteraan Petani
“Mekanisme tersebut justru akan memudahkan masyarakat saat pencoblosan,” ujar dia.
Terkait perihal pemborosan anggaran sebagaimana yang didalilkan pemohon, Risky mengatakan efisiensi anggaran bisa diupayakan melalui pemanfaatan teknologi berbasis digital terutama pada saat tahapan-tahapan pemilu.
Permohonan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait pengujian Undang-Undang Pemilu diajukan Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Para pemohon mendalilkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Baca Juga:
Menteri Nusron Wahid Ungkap 2 Inisial Perusahaan Pemilik Sertifikat Hak Guna Bangunan di Laut Bekasi
Gusdurian Minta Usut Tuntas, Pagar Laut Bukti Pelanggaran Hukum Pihak Tertentu dan Pemerintah
Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem Pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak calon legislatif pragmatis yang hanya bermodalkan kepopuleran tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik.***