FOKUSSIBER.COM – Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara banyak yang tidak pro rakyat.
Rakyat dijadikan sapi perah untuk menutupi kekurangan anggaran pendapatan negara.
Contohnya sebut saja kenaikan PPn disaat masyarakat sedang menderita akibat covid dan kenaikan harga-harga.
Kini rokokpun dijadikan sasaran dengan menaikan cukai hasil tembakau (CHT) dengan kisaran kenaikan 10 persen yang akan diberlakukan di tahun 2023 dan 2024.
Baca Juga:
Rencana Pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto Ditanggapi Presiden Jokowi
Presiden Jokowi Tanggapi Rencana Pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto
Menteri Keuangan mengatakan bahwa kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
Kenaikan tarif cukai tembakau dan produk turunannya seperti rokok dan cerutu tentunya sangat memberatkan bagi para pelaku industri rokok dan petani tembakau.
Tidak bisa dipungkiri bahwa rokok adalah salah satu penyumbang pajak terbesar setelah PPn atas setiap pembelian barang-barang lainnya.
Dan kenaikan CHT ini tentunya akan membuat harga rokok menjadi naik.
Baca Juga:
Pemerintah seperti kejar setoran untuk menutupi kekurangan-kekurangan anggaran.
Publik tahu betapa besarnya hutang yang ugal-ugalan yang harus ditanggung negara ini.
Tapi pola kebijakannya yang signifikan dilakukan oleh pemerintah yang dirasakan publik adalah bukan dengan menaikan kemampuan ekspor.
Ataupun pengelolaan SDA yang dikuasai, tapi dengan cara menaikan pajak dan mengurangi subsidi seperti pada kebijakan kenaikan BBM.
Baca Juga:
Wamentan Sudaryono Ungkap Alasan Usulkan PT Pupuk Indonesia dan Perum Bulog di Bawah Kementan
RUA RUALB PROPAMI 2024: Perubahan AD Disetujui, Laporan Kinerja Pengurus Tahun 2023 Diterima DPW
Pendapatan negara dari Pajak dan Cukai rokok sangat besar dimana rakyat Indonesia, menyerap banyak tenaga kerja lokal dan sebagian besar diantaranya kalangan miskin dan menengah adalah perokok.
Ini seperti menghisap pendapatan negara dari rakyat sendiri, sementara ironisnya adalah perusahaan tambang asing bebas menghisap SDA alam Indonesia.
Seperti halnya perusahaan China yang mengambil nikel dari tanah Indonesia sementara Indonesia memberikan bebas royalti dan bebas pajak 30 tahun dan menyerap banyak tenaga kerja asing.
Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Jika alasan kesehatan maka yang kebijakan yang diterapkan seharusnya bukan dengan cara menaikan pajak ataupun tarif cukai tapi dengan pelarangan produksi dan transaksi rokok.
Bukan sekedar mengendalikan konsumsi tembakau, tapi tentunya hal ini tidak mungkin karena rokok berkontribusi besar terhadap pendapatan negara.
Artinya jika alasan kesehatan yang dipergunakan maka ini bentuk dari Hypocrisy.
Alasan kuat mengapa pemerintah kembali menaikkan tarif cukai rokok pada tahun depan, salah satunya adalah untuk memenuhi target jumlah pajak untuk mengisi kekosongan kas negara yang sudah mulai berkurang karena adanya pandemi Covid-19.
Inipun memperlihatkan ketidak mampuan pemerintah dalam menghadirkan pendapatan negara padahal pemerintah memegang kekuasaan untuk mempergunakan SDA dan SDM di negara ini.
Sebagaimana yang Menteri Keuangan Sri Mulyani sampaikan bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan.
Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Artinya masyarakat Indonesia sendiri sebagai pasar terbesar dari industri rokok ini dimana masyarakat miskin yang menjadi konsumen terbesar.
Sehingga jika menaikan CHT maka sama halnya membebankan tarif cukai ini kepada masyarakat yang sebagian besar dari kalangan miskin.
Pemerintah dituntut untuk bisa lebih kreatif dan produktif menghasilkan pendapatan negara yang basisnya bukan dari pakal rakyat saja.
Tentunya kompetensi entrepreneurship para pengelola negara untuk mendapatkan pendapatan negara adalah menjadi tuntutan yang harus terpenuhi.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute. Artikel dikutip Fokussiber.com dari media Lingkarnews.com. ***